Jumat, 27 April 2012

Ulama dan Perkembangan intelektual




ULAMA DAN PERKEMEBANGAN INTELEKTUAL; KALAM
FIQIH DAN TASWUF



OLEH: TAKDIR ALISYAHABANA



PROGRAM MAGISTER PASCA SARJANA (S2)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) BENGKULU



TAHUN AJARAN  2011-2012

A.    Pendahuluan.
    Islam lahir, diterima dan dikembangkan untuk pertama kalinya ditengah masyara-kat perkotaan Mekah dan Madinah. Tentu sebagai masyarakat urban, mereka telah mampu berfikir rasional dan logis, mampu membedakan dan menarik garis pemisah yang tegas antara ajaran Islam dan yang bukan. Pada awal perkembangan Islam, umat dibimbing langsung oleh Nabi Muhammad SAW, baik aspek pemahaman, penmeghaya-tan, pengamalan dan pengalaman Islam yang benar-benar murni dan segar sehingga mampu memproduk masyarakat baru yang khairul ummah. Menurut Simuh[1] Islam mempunyai keistimewaan yaitu sejarah yang jelas semenjak diturunkan wahyu pertama hingga menjadi agama yang sempurna dan utuh sebelum wafat Nabi Muhammad SAW, al-Qur’an mempertegas kondisi tersebut Q.S. al-Maidah (5) : 3   “pada hari ini telah AKU sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah AKU sempurnakan nikmat untukmu, dan AKu rela Islam menjadi agama.[2]
    Wafatnya Nabi Muhammad SAW, pemahaman, penghayatan, pengamalan dan pengalaman Islam dilanjutkan oleh para Sahabat. Inti ajaran Islam terpusat langsung dari sumber aslinya, al-Qur’an dan Sunnah, ilmu-ilmu ke-Islaman masa ini belum muncul. Karena al-Qur’an secara langsung dikaji, digeluti dan direnungkan, maka pi-kiran dan pengalaman Islam tumbuh dan berkembang secara sinkron antara zikir, fikir dan realitas amaliyah. Atau dalam konsep agamanya terjadi perkembangan se-rentak dan saling menjiwai antara iman, Islam dan Ikhsan.
    Perkembangan ajaran Islam kearah ilmu kalam, dimulai sejak terjadinya pertikaian anatar Ali bin Thalib dan Mu’awiyah yang diakhiri dengan peristiwa tahkim. Peristiwa yang membuat bencana bagi umat Islam sehingga terpecah menjadi paling tidak tiga kelompok, yaitu kelompok pendukung Ali bin Abi Thalib, kelompok pen-dukung Mu’awiyah, dan kelompok Khawarij.[3]  Dari peristiwa tersebut kemudian muncul pernyataan dari kelompok Khawarij, tahkim adalah dosa besar dan pelakunya kafir.[4]
    Kondisi kafir dan mukminnya. seseorang, semula sebagai pernyataan politik, akhir-nya berkembang menjadi persoalan teologi. Berkenaan dengan itu, Amir Al-Najjar berkesimpulan bahwa permasalahan politiklah yang menjadi  penyebab tumbuhnya dan berkembangnya ilmu kalam dalam Islam.[5] Sedangkan perkembangan pemikiran Islam kearah legalisme dan formalisme (Fiqih) sebagai produk intelektual Muslim bermula sekitar abad pertengahan ke 2 H dengan munculnya pemikira-pemikir besar seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad bin Hanbal, Syafi’i dan lain-lainnya. Setelah itu disusul pula mulai munculnya pemikiran sufi, yang diwakili Dzu al Nun al-Misri, al-Kharaj dan al-Junaid.[6]
B.     Pengertian Ulama.
    Kata Ulama diulang sebanyak dua kali dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat Asy-syu’ara’ ayat 197 dan Faathir ayat 28.
óOs9urr& `ä3tƒ öNçl°; ºptƒ#uä br& ¼çmuHs>÷ètƒ (#às¯»yJn=ãã ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ÇÊÒÐÈ
197.  Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?
šÆÏBur Ĩ$¨Z9$# Å_U!#ur¤$!$#ur ÉO»yè÷RF{$#ur ì#Î=tFøƒèC ¼çmçRºuqø9r& šÏ9ºxx. 3 $yJ¯RÎ) Óy´øƒs ©!$# ô`ÏB ÍnÏŠ$t6Ïã (#às¯»yJn=ãèø9$# 3 žcÎ) ©!$# îƒÍtã îqàÿxî ÇËÑÈ
28.  Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
    Ayat di atas mengisyaratkan bahwa ulama merupakan hamba Allah yang beriman, bertakwa, menguasai ilmu kauniyah dan tanziliyah, berpandangan hidup luas dan ber-ibadah dengan landasan rasa takut kepada Allah SWT.[7] Dalam menjelaskan penger-tian ulama Nurcholis Madjid, mengungkapkan bahwa pembahasan masalah keulamaan, dirasakan perlu memahami apa hakikat ilmu dan berilmu itu. Selain di-sebut al-ulamaorang-orang yang berilmu juga disebut al-^alimunkedua pe-ngertian itu mengacu kepada pengertian tentang orang yang semata-mata tahuatau berilmu seperti ungkapan sehari-hari saya tahu,saya sudah tahu, ataupun orang yang berpengetahuan dan berilmu pengetahuan atau ilmuan (scientist). Kedua istilah itu, dalam Kitab Suci, menunjukkan semata-mata kepada orang-orang yang tahu melalui penglihatan dan pendengaran atau daya jasmani lainnya, yang hanya meliputi pengetahuan kognitif dan rasional belaka, melainkan kepada orang yang lebih mendalam, yang bersifat supra rasional dengan kualitas rohaninya. Telah diisyaratkan bahwa ilmu mendalam seperti itu adalah kearifat atau al-hikmah, yang dalam perbendaharaan pustaka kesufian disebut ma’rifat.[8]
    Dalam upaya merumuskan definisi Ulama, hendaknya merujuk kepada pendapat-pendapat para Mufassir salaf (Sahabat dan Tabi’in) yang dekat dengan pusat ilmu ke-Islaman. Sebagai yang dikutip oleh Badruddin HSubky sebagai berikut: 1). Imam Mujahid : Ulama adalah orang yang hanya takut kepada Allah SWT. 2). Hasan Basri: Ulama adalah orang yang takut kepada Allah disebabkan perkara gaib, suka kepada setip sesuatu yang disukai Allah, dan menolak segala sesuatu yang dimurkai-Nya. 3).Ali al-Shabuni: Ulama adalah orang yang merasa takutnya kepada Allah sangat mendalam disebabkan ma’rifatnya. 4). Ibnu Katsir: Ulama adalah yang benar-benar ma’rifatnyabkepada Allah sehingga mereka takut kepada-Nya. Jika ma’rifatnya sudah sangat mendalam maka sempurnalah takutnya kepada Allah. dan 5). Sayyid Quthub: Ulama adalah orang yang senantiasa berfikir kritis akan Kitab al-Qur’an sehingga mereka akan ma’rifat secara hakiki kepada Allah, mereka ma’rifat karena memperhatikan tanda-tanda bukti ciptaanNya. Mereka yang merasakan kemaha besaranNya akan merasa pula hakikat keagunganNya. Karena itu mereka khasyyah dan takwa kepada Allah dengan sebenar-benarnya. 6). Syekh Nawawi al bantani; Ulama adalah orang-orang yang menguasai hukum syara’ untuk menetapkan sahnya agama, baik penetapan sahnya ‘itiqad maupun amal  syari’at lainnya.[9]
    Dari berbagai pengertian Ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa Ulama  diharuskan memenuhi kriteria berikut ini: 1). Menguasai ilmu agama Islam (tafaqquh fi al-din) dan sanggup membimbing umat dengan bekal ilmu-ilmu keislaman yang bersumber dari al-Qur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. 2). Ikhlas melaksanakan ajaran Islam. 3). Mampu menghidupkan Sunnah rasul dan mengembangkan islam secara integral. 4). Berakhlak luhur, berpikir kritis, aktif mendorong masyarakat melakukan perobahan positif, bertanggung jawab dan istiqomah. 5). Berjiwa besar, kuat mental dan fisik, tahan uji, hidup sederhana, amanah, beribadah, tawadhu”, kasih saying terhadap sesama, mahabbah dan khasyyah serta tawakal kepada Allah SWT. 6).mengetahui dan peka terhadap setuasi dan kondisi zaman dan mampu menjawab berbagai persoalan untuk kepentingan Islam dan umatnya. 7). Berwawasan luas dan menguasai berbagai cabang ilmu demi pengembangannya. Menerima pendapat orang lain dan bersikap tawadhu’.[10]
    Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa ulama adalah seorang yang ber-ilmu luas dan hikmah kearifan, mampu mengemban dan mengembangkan Risalah Allah dan Rasulnya, untuk kebahagiaan umat di dunia dan di akhirat.
C.Klasifikasi Ulama.
    Abu Hayyan al-Taymiy sebagaimana yang dikutip NurCholis Madjid menjelaskan tentang ulama dan keulamaan, serta tentang kearifan dan kebodohan, sebagai dikutip oleh Ibnu Taimiyah sebagai berikut:
    “Ulama ada tiga macam: Seorang Ulama yang berilmu tentang Allah dan ajaran Allah; Ulama yang berilmu tentang Allah tapi tidak berilmu tentang ajaran Allah; dan Ulama yang berilmu tentang ajaran Allah tetapi tidak berilmu tentang. Seorang Ulama yang berilmu tentang Allah ialah yang takut (merasa dahsyat) kepada Allah, dan yang berilmu tentang ajaran Allah ialah yang mengetahui batas-batasnya dan kewajiban-kewajibannya. Allah berfirman: “sesungguhnya yang benar-benar merasa dahsyat kepada Allah dari kalangan paran  hambaNya hanyalah para Ulama” QS:35:28. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang yang merasa kedahsyatan (takut) kepada Allah adalah seorang Ulama dan dia adalah orang yang benar , namun tidak berarti setiap Ulama merasa dahsyat atau takut kepada Allah.  tetapi karena adanya keilmuan tentang Dia semestinya mengharuskan adanya kedahsyatan jika tidak ada suatu halangan, maka ketiadaan kedahsyatan kepada Allah itu merupakan petunjuk akan lemahnya pangkal (yaitu keulamaannya); sebab jika memang pangkal itu kuat tentu ia mampu menyingkirkan halangan tersebut. Demikian pula dengan perkataan “akal” yang dimaksud adalah kecenderungan pembawaan naluri suci yang dengan itu orang berilmu, dan dengan itu juga dimaksudkan berbagai jenis ilmu, kemudian dimaksudkan pula adanya amal karena adanya ilmu itu. Maka begitu pula perkataan bodoh (Jahl) diartikan sebagai tiadanya ilmu dan amal sebagai kemestian adanya ilmu, sebagaimana disabdakan oleh Nabi “Jika seseorang diantara kamu berpuasa, maka janganlah ia berbuat yang tidak senonoh dan bersikap bodoh berlapis (al-Jahl Nurakkab). Mengacu kepada pengertian ini. Jika orang lain mengumpatinya atau menyerangnya maka hendaklah ia berkata: aku sedang berpuasa. Jadi puasa disini ialah berkata palsu, setara dengan jahl murakkab. Mengacu kepada pengertian ini seorang penyair menggubah “ ala la yajhalana ahadin ‘alayna fa najhal- a fauqa jahli al jahilina” (jangan ada orang bersikap bodoh melebihi kebodohan orang-orang bodoh).[11]
    Jadi menurut isyarat Abu Hayyan, selalu ada kemungkinan tampilnya seorang “Ulama bodoh” , suatu ungkapan yang mengesankan kontradiksi terminology, tetapi benar-benar ada dalam kenyataan. Yaitu seorang Ulama yang tidak merasa dahsyat  dihadapan Allah dan tidak mencerminkan kualitas keulamaannya sebagaimana dikutip dari berbagai sumber otoritas dalam seluruh uraian di atas. Lebih buruk lagi Ulama Jahat (Ulama al-su) sebagaimana istilah yang digunakan oleh Al-Ghazali. Dalam hubungan dengan Ulama jahat itu, Ali bin Abi Thalib memperingatkan: “Akan datang pada umat manusia zaman ketika dari Islam tinggal hanya namanya dan dari al-Qur’an tinggal hurufnya. Mereka beramai-ramai ke Masjid, namun bangunan itu telah kosong dari ingat kepada Allah. sejahat-jahatnya warga zaman itu ialah para Ulama mereka, dari para Ulama itulah keluar fitnah, dan kepada mereka pulalah fitnah itu menimpa kembali; yaitu, mereka berilmu namun tidak melakukan amal sesuai dengan keharusan adanya ilmu pada mereka.[12]
    Dalam kehidupan masyarakat muslim Indonesia, terdapat beberapa istilah padanan kata ulama; 1). Kiai; secara sosiologis ia merupakan gelar pemberian sesama manusia. Seorang yang telah menunaikan ibadah haji disebut kiai haji. Bahkan ada yang disebut dengan kiai meskipun baru sebentar belajar di Pesantren. Demikian pula seorang yang menjadi penghulu dengan kebiasaan membaca do’a, disebut kiai. Sebutan kiai juga diberikan kepada pengajar ilmu mistik. Selain digunakan untuk sebutan orang, juga digunakan untuk menyebut benda dan hewan. Gajah dikebun binatang Gembira Loka Yogyakarta, misalnya, ada yang menyebut Kiai Rebo dan Kiai Wage. Bedugpun disebut Kiai karena ia dipukul saat tiba waktu salat. Bentuk sinkritisme dalam acara gerebek yang jatuh pada hari besar Islam. Benda-benda keramat seperti tombak disebut kiai plered dan kiai Naga Wilaga (gamelan perayaan sekaten di Yogyakarta). Semua ini menunjukkan unsure dinamisme yang memper-sonifikasikan kekuatan ke dalam  benda.[13] Sekitar tahun 1972-an belum banyak kaum Muslimin senang digelari dengan Kiai. Sebab masih identik dengan golongan masya-rakat berkain sarung dan menggunakan bakiak. Sekarang kecenderungan berubah. Mereka yang baru sedikit ilmu agamanya juga disebut kiai atau menyebut dirinya kiai. Pada umumnya, gelar kiai kini diberi kepada orang yang mengajar santri di Pesantren. Paling tidak gelar Kiai mulai dikenal sejak tahun 800 H. ini dibuktikan dengan sebutan Kiai Modjo dan Mahfudz at-Turmusyi, pengarang kitab Minhaj Dawindadhar.[14] Selain itu, dikenal pula Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta (12 September 1926), Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama di Surabaya (31 Januari 1926); Kiai Abdul Halim, pendiri Perserikatan Ummat islam di Majalengka dan Kiai Ahmad Sanusi, Pendiri Persatuan Umat islam Indonesia di Suabumi (5 April 1952).[15]
2). Ulil Albab; gelar ini merupakan panggilan Allah SWT bagi setiap orang yang ber-dzikir dan berpikir tentang segala ciptaan-Nya, baik dilangit maupun dibumi. Sedangkan Jalaluddin Sayuthi menyebut ulul al-bab sebagai ashabul uqul’ yaitu orang-orang  yang mempunyai akal suci.[16]  Badruddin HSubky, mengemukakan ciri-ciri ulul al-bab sebagai berikut: a). Memiliki kesadaran dzikrullah yang dibuktikengan dengan perilaku dan keterikatan hanya kepada Allah, dalam keadaan apa pun. Ia memiliki kemampuan tafakkur, yaitu membaca, mempelajari, dan memi-kirkan alam semesta serta mengambil hikmahnya. Ia memiliki kesadaran bahwa se-luruh ciptaan Allah memuat makna yang mendalam dan senantiasa menjauhi larangan larangan Allah SWT. b). mempunyai kemampuan untuk memahami dan menghayati Kiatabullah, memenuhi janji-janjinya, menghubungkan tali persaudaraan, Takut kepada Allah, sabar, mengerjakan salat, menafkahkan sebagia rizkinya dan melakukan segala perintahNya. c). sadar bahwa seluruh ilmu pengetahuan bersumber dari karunia Allah dan wajib diamalkan agar bermanfaat bagi umat manusa. d ). Me-miliki semangat juang untuk menguasai ilmu pengetahuan sehingga meningkatkan kesadaran untuk beriman kepada Allah. e ). Mampu memisahkan antara hak dan batil serta selalu berpihak kepada yang hak. f ). Pandai menetapkan sanksi hukum. g ). Kritis terhadap pendapat orang  dan pandai menimbang dan menyimak dalil mereka. h ). Pandai mengelolah hasil bumi dan memanfaatnya dengan benar.[17]
3). Cendekiawan Muslim: Pengertian kata ini perlu dibedakan dengan Islamic scientist. Cendikiawan Muslim adalah seorang muslim yang menguasai salah satu bidang ilmu, seperti atom, nuklir, kedoktoran dan lain-lainnya. Sedangkan Islamic scientist adalah sarjana non muslim yang mendalami ilmu keislaman seperti Snouk Hurgronje, Kriemer dan Smith.[18]
D Fungsi dan kewajiban Ulama.
    Ulama menampati posisi dan fungsi penting dalam kehidupan masyarakat, ia ber-posisi dan berfungsi sebagai 1). mishbahul ardhi (pelita bumi), yaitu sebagai penerang dan penuntun umat mencapai kebahagiaan dn kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Kemudian 2). ulama juga khalifah para Nabi (khulafa al-anbiya’) yaitu berposisi dan berfungsi sebagai penggerak dan pendorong umat membangun kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Yang ke 3). Berposisi dan berfungsi sebagai pengemban amanah Allah atas makhluknya (umanaullah ‘ala khalqihi) yaitu sebagai pembimbing dan penuntun umat manusia ke jalan yang di radio Allah SWT dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan yang ke 4). Ulama berposisi dan berfungsi sebagai ahli waris para Nabi ( waratsatul anbiya’) yaitu sebagai pemegang astafed perjuangan para Nabi dalam menyiarkan dan melestarikan risalah Ilahiyah.[19]
    Sungguh besar dan berat beban yang diemban oleh Ulama, namun semuanya dilaksanakan dengan totalitas sebagai bagian dari perjuangan hidup para Ulama. Semua beban yang diamanahkan kepada Ulama adalah tugas mulia dalam  menunaikan dan menegakkan  amar ma’ruf nahi munkar, terutama dalam memperjuangkan menegakkan tauhid dan mengajarkan ilmu pengetahuan kepada manusia, dalam kontek ini Allah berfirman Q.S. Jumu’ah(62):2
    uqèd Ï%©!$# y]yèt/ Îû z`¿ÍhÏiBW{$# Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Ftƒ öNÍköŽn=tã ¾ÏmÏG»tƒ#uä öNÍkŽÏj.tãƒur ãNßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur bÎ)ur (#qçR%x. `ÏB ã@ö6s% Å"s9 9@»n=|Ê &ûüÎ7B ÇËÈ
2.  Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah). dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,[20]
    Posisi dan fungsi penting Ulama, berkata Imam Bukhari ra.  Ulama adalah , ahli waris  seluruh Nabi.[21]
    Karena Ulama mempunyai peranan strategis dalam kehidupan umat manusia, tentu banyak kewa- jiban yang harus dilakukan oleh para Ulama, Ain Najaf menyebutkan ada enam tugas Ulama; 1). Tugas intelektual (al-amal al-fikriy): ia harus mengembangkan berbagai pemikiran sebagai rujukan umat. Ia dapat mengmbangkan pemikiran ini dengan mendirikan majlis-majlis ilmu, pesantren , atau hauzat; menyusun kitab-kitab yang bermanfaat bagi manusia yang meliputi ilmu al-Quran, al-hadist. Aqaid, fiqih, usul fiqih, ilmu-ilmu aqliyah, matematika, tarikh, ilmu bahasa, kedokteran, biologi, kimia dan fisika dan membuka perpustakaan ilmiah. 2). Tugas membimbing keagamaan; ia harus menjadi rujukan dalam menjelaskan halal dan haram. Ia mengeluarkan fatwa tentang berbaai hal yang berke- naan dengan hukum-hukum islam. 3). Tugas komunikasi dengan umat (al-ittishal bil ummah; ia harus dekat dengan umatyang dibimbingnya. Ia tidak boleh terpisah dan membentuk kelas elit. Akses pada umat diperolehnya melalui hubungan langsung, mengirim wakil ke setiap daerah secara permanen, atau menyampaikan khutbah.4). Tugas menegakkan syi’ar Islam: Ia harus memelihara, melestarikan, dan menegakkan berbagai manifestasi ajaran islam. Ini dapat melakukannya dengan membangun Masjid, meramaikannya, dan menghidupkan ruh Islam di dalamnya. Dengan menyemarakkan upacara-upacara keagamaan dan merevitalisasikan maknanya dalam kehidupan yang actual; dan dengan meng-
Menghidupkan sunnah Rasulullah saw sambil menghilangkan bid’ah-bid’ah jahiliyah dalam pemikiran dan kebiasaan umat. 5). Tugas mempertahankan hak-umat: ia harus tampil membela kepentingan umat, bila hak-hak mereka dirampas. Ia harus meringankan penderitaan mereka dan melepas belenggu-belenggu yang memasung kebebasan mereka. 6). Tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum mus-limin; Ulama adalah Mujahidin yang siap menhgadapi lawan-lawan Islam bukan saja dengan pena dan lisan, tetapi juga dengan tangan dan dada. Mereka selalu mencari syuhada sebagai kesaksian atas komitmennya yang total terhadap Islam.[22]
E. Ulama dan perkembangan intelektualisme; Kalam, Fiqih dan Tasawuf.
 1.  Ulama dan perkembangan intelektual bidang kalam.
    Ketika Nabi masih hidup, seluruh permasalahan yang timbul dijawab langsung oleh Nabi saw, baik jawaban melalui wahyu maupun penjelasannya sendiri ( hadis). Kehidupan keagamaan masa ini, masih menyatu belum ada paham  atau aliran-aliran keagamaan. Menurut Atang Abd. Hakim, aliran ilmu kalam diawali oleh peristiwa tahkim, yang menjadikan umat tiga kelompok; Umat Islam kelompok pertama adalah pendukung Mu’awiyah di antaranya Amr bin Ash. Sedangkan kelompok kedua adalah pendukung Ali bin Abi Thalib di antaranya Abu Musa al-Asy’ari. Dan yang ketiga kelompok Khawarij, yang dipelopori oleh ‘Atab bin A’war dan ‘Urwah bin Jarir.[23]
    Permasalahan yang pertama kali muncul dalam pembahasan intelektual Muslim (Ulama) adalah kalam tentang persoalan status orang yang berdosa besar, apakah ia masih dapat disebut Muslim atau kafir. Permasalahan ini, melibatkan berbagai kala-ngan Ulama; pertama kelompok Ulama Khawarij ekstrem, berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut Muslim.[24] Kelompok kedua yang terlibat secara intelektual membahas masalah tersebut adalah Murji”ah, mereka menjelaskan bahwa orang yang melakukan dosa besar nasibnya akan diputuskan oleh Allah di hari Kiamat.[25]  Ulama-ulama Mu’tazilah  Wasil bin Atha juga ikut serta menyumbangkan intelektualitas-nya, dengan mengajukan pendapat “bahwa orang Muslim yang berdosa besar, bukan-lah Muslim tetapi bukan pula kafir, pemikiran ini terkenal dengan istilah “al-manzilah bayna al-manzilatayn”.[26] Tokoh Ulama utama aliran Asy’ariyah Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, juga menyumbangkan pemekirannya,  para pendosa besar tetap mukmin yang fasik, karena iman tidak mungkin hilang karena dosa selain kufur.[27]
    Permasalahan kedua muncul dalam pembahasan pemikiran Ulama tentang kalam adalah masalah perbuatan manusia, apakah manusia memliki kemerdekaan dan kebe-basan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Terdapat dua jawaban intelektual Ulama; yang 1). Manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya, aliran pemikiran kalam ini, terkenal dengan nama Qodariyah, karena memandang manusia memiliki kekuatan (qudrah) untuk me-nentukan perjalanan hidupnya dan untuk mewujudkan perbuatannya.[28] Aliran pemikiran qodariyah banyak didukung oleh Ulama-ulama Mu’tazilah karena mereka sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tin-dakan tanpa campurtangan Tuhan.[29] Salah satu tokoh Ulama Qodariyah al-Azzam, mengemukakan bahwa manusia hidup mempunyai daya, ia berkuasa atas segala per-buatannya.[30]
    Dari penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa doktrin Qodariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendak sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehen-daknya sendiri, baik berbuat baik maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seorang diberi ganjaran baik dengan balasan surge kelak di akhirat dan diberi ganjaran siksa  dengan balasan neraka kelak di Akhirat, itu adalah berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan kehendak Tuhan. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.[31]
    Paham Qodariyah menegaskan bahwa tidak ada alasan yang tepat untuk menyan-darkan  segala perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Landasan pemikiran qoda-riyah didasarkan pada :
1.      Q.S Al-Kagfi(18):29
2.      `yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4 È.