ULAMA DAN PERKEMEBANGAN
INTELEKTUAL; KALAM
FIQIH DAN TASWUF
|
OLEH: TAKDIR ALISYAHABANA
|
PROGRAM
MAGISTER PASCA SARJANA (S2)
|
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
BENGKULU
|
TAHUN
AJARAN 2011-2012
|
A.
Pendahuluan.
Islam lahir, diterima dan dikembangkan
untuk pertama kalinya ditengah masyara-kat perkotaan Mekah dan Madinah. Tentu
sebagai masyarakat urban, mereka telah mampu berfikir rasional dan logis, mampu
membedakan dan menarik garis pemisah yang tegas antara ajaran Islam dan yang
bukan. Pada awal perkembangan Islam, umat dibimbing langsung oleh Nabi Muhammad
SAW, baik aspek pemahaman, penmeghaya-tan, pengamalan dan pengalaman Islam yang
benar-benar murni dan segar sehingga mampu memproduk masyarakat baru yang
khairul ummah. Menurut Simuh[1]
Islam mempunyai keistimewaan yaitu sejarah yang jelas semenjak diturunkan wahyu
pertama hingga menjadi agama yang sempurna dan utuh sebelum wafat Nabi Muhammad
SAW, al-Qur’an mempertegas kondisi tersebut Q.S. al-Maidah (5) : 3 “pada hari ini telah AKU sempurnakan untuk
kamu agamamu, dan telah AKU sempurnakan nikmat untukmu, dan AKu rela Islam
menjadi agama.[2]
Wafatnya Nabi Muhammad SAW, pemahaman,
penghayatan, pengamalan dan pengalaman Islam dilanjutkan oleh para Sahabat.
Inti ajaran Islam terpusat langsung dari sumber aslinya, al-Qur’an dan Sunnah,
ilmu-ilmu ke-Islaman masa ini belum muncul. Karena al-Qur’an secara langsung
dikaji, digeluti dan direnungkan, maka pi-kiran dan pengalaman Islam tumbuh dan
berkembang secara sinkron antara zikir, fikir dan realitas amaliyah. Atau dalam
konsep agamanya terjadi perkembangan se-rentak dan saling menjiwai antara iman,
Islam dan Ikhsan.
Perkembangan ajaran Islam kearah ilmu
kalam, dimulai sejak terjadinya pertikaian anatar Ali bin Thalib dan Mu’awiyah yang
diakhiri dengan peristiwa tahkim. Peristiwa yang membuat bencana bagi umat
Islam sehingga terpecah menjadi paling tidak tiga kelompok, yaitu kelompok
pendukung Ali bin Abi Thalib, kelompok pen-dukung Mu’awiyah, dan kelompok
Khawarij.[3]
Dari peristiwa tersebut kemudian muncul
pernyataan dari kelompok Khawarij, tahkim adalah dosa besar dan pelakunya
kafir.[4]
Kondisi kafir dan mukminnya. seseorang,
semula sebagai pernyataan politik, akhir-nya berkembang menjadi persoalan
teologi. Berkenaan dengan itu, Amir Al-Najjar berkesimpulan bahwa permasalahan
politiklah yang menjadi penyebab
tumbuhnya dan berkembangnya ilmu kalam dalam Islam.[5]
Sedangkan perkembangan pemikiran Islam kearah legalisme dan formalisme (Fiqih)
sebagai produk intelektual Muslim bermula sekitar abad pertengahan ke 2 H
dengan munculnya pemikira-pemikir besar seperti Imam Abu Hanifah, Malik, Ahmad
bin Hanbal, Syafi’i dan lain-lainnya. Setelah itu disusul pula mulai munculnya
pemikiran sufi, yang diwakili Dzu al Nun al-Misri, al-Kharaj dan al-Junaid.[6]
B. Pengertian
Ulama.
Kata Ulama diulang sebanyak dua kali dalam
al-Qur’an, yaitu dalam surat Asy-syu’ara’ ayat 197 dan Faathir ayat 28.
óOs9urr& `ä3t
öNçl°;
ºpt#uä
br&
¼çmuHs>÷èt
(#às¯»yJn=ãã
ûÓÍ_t/
@ÏäÂuó Î)
ÇÊÒÐÈ
197. Dan apakah tidak cukup menjadi bukti bagi
mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?
ÆÏBur Ĩ$¨Z9$#
Å_U!#ur¤$!$#ur
ÉO»yè÷RF{$#ur
ì#Î=tFøèC
¼çmçRºuqø9r&
Ï9ºxx.
3 $yJ¯RÎ)
Óy´øs
©!$#
ô`ÏB
ÍnÏ$t6Ïã
(#às¯»yJn=ãèø9$#
3 cÎ)
©!$#
îÍtã
îqàÿxî
ÇËÑÈ
28. Dan demikian (pula) di antara manusia,
binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam
warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya,
hanyalah ulama Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Ayat
di atas mengisyaratkan bahwa ulama merupakan hamba Allah yang beriman,
bertakwa, menguasai ilmu kauniyah dan tanziliyah, berpandangan hidup luas dan
ber-ibadah dengan landasan rasa takut kepada Allah SWT.[7] Dalam
menjelaskan penger-tian ulama Nurcholis Madjid, mengungkapkan bahwa pembahasan
masalah keulamaan, dirasakan perlu memahami apa hakikat ilmu dan berilmu itu.
Selain di-sebut “al-ulama”orang-orang yang berilmu
juga disebut al-^alimun”kedua
pe-ngertian itu mengacu kepada pengertian tentang orang yang semata-mata “tahu”atau berilmu seperti
ungkapan sehari-hari “saya
tahu”,saya
sudah tahu, ataupun orang yang berpengetahuan dan berilmu pengetahuan atau
ilmuan (scientist). Kedua istilah itu, dalam Kitab Suci, menunjukkan
semata-mata kepada orang-orang yang tahu melalui penglihatan dan pendengaran
atau daya jasmani lainnya, yang hanya meliputi pengetahuan kognitif dan
rasional belaka, melainkan kepada orang yang lebih mendalam, yang bersifat
supra rasional dengan kualitas rohaninya. Telah diisyaratkan bahwa ilmu
mendalam seperti itu adalah kearifat atau al-hikmah, yang dalam perbendaharaan
pustaka kesufian disebut ma’rifat.[8]
Dalam upaya merumuskan definisi Ulama,
hendaknya merujuk kepada pendapat-pendapat para Mufassir salaf (Sahabat dan
Tabi’in) yang dekat dengan pusat ilmu ke-Islaman. Sebagai yang dikutip oleh
Badruddin HSubky sebagai berikut: 1). Imam Mujahid : Ulama adalah orang yang
hanya takut kepada Allah SWT. 2). Hasan Basri: Ulama adalah orang yang takut
kepada Allah disebabkan perkara gaib, suka kepada setip sesuatu yang disukai
Allah, dan menolak segala sesuatu yang dimurkai-Nya. 3).Ali al-Shabuni: Ulama
adalah orang yang merasa takutnya kepada Allah sangat mendalam disebabkan
ma’rifatnya. 4). Ibnu Katsir: Ulama adalah yang benar-benar ma’rifatnyabkepada
Allah sehingga mereka takut kepada-Nya. Jika ma’rifatnya sudah sangat mendalam
maka sempurnalah takutnya kepada Allah. dan 5). Sayyid Quthub: Ulama adalah
orang yang senantiasa berfikir kritis akan Kitab al-Qur’an sehingga mereka akan
ma’rifat secara hakiki kepada Allah, mereka ma’rifat karena memperhatikan tanda-tanda
bukti ciptaanNya. Mereka yang merasakan kemaha besaranNya akan merasa pula
hakikat keagunganNya. Karena itu mereka khasyyah dan takwa kepada Allah dengan
sebenar-benarnya. 6). Syekh Nawawi al bantani; Ulama adalah orang-orang yang
menguasai hukum syara’ untuk menetapkan sahnya agama, baik penetapan sahnya
‘itiqad maupun amal syari’at lainnya.[9]
Dari berbagai pengertian Ulama di atas, dapat
disimpulkan bahwa Ulama diharuskan
memenuhi kriteria berikut ini: 1). Menguasai ilmu agama Islam (tafaqquh fi
al-din) dan sanggup membimbing umat dengan bekal ilmu-ilmu keislaman yang
bersumber dari al-Qur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. 2). Ikhlas melaksanakan
ajaran Islam. 3). Mampu menghidupkan Sunnah rasul dan mengembangkan islam
secara integral. 4). Berakhlak luhur, berpikir kritis, aktif mendorong
masyarakat melakukan perobahan positif, bertanggung jawab dan istiqomah. 5).
Berjiwa besar, kuat mental dan fisik, tahan uji, hidup sederhana, amanah,
beribadah, tawadhu”, kasih saying terhadap sesama, mahabbah dan khasyyah serta
tawakal kepada Allah SWT. 6).mengetahui dan peka terhadap setuasi dan kondisi
zaman dan mampu menjawab berbagai persoalan untuk kepentingan Islam dan
umatnya. 7). Berwawasan luas dan menguasai berbagai cabang ilmu demi
pengembangannya. Menerima pendapat orang lain dan bersikap tawadhu’.[10]
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan
bahwa ulama adalah seorang yang ber-ilmu luas dan hikmah kearifan, mampu
mengemban dan mengembangkan Risalah Allah dan Rasulnya, untuk kebahagiaan umat
di dunia dan di akhirat.
C.Klasifikasi
Ulama.
Abu Hayyan al-Taymiy sebagaimana yang
dikutip NurCholis Madjid menjelaskan tentang ulama dan keulamaan, serta tentang
kearifan dan kebodohan, sebagai dikutip oleh Ibnu Taimiyah sebagai berikut:
“Ulama ada tiga macam: Seorang Ulama yang
berilmu tentang Allah dan ajaran Allah; Ulama yang berilmu tentang Allah tapi
tidak berilmu tentang ajaran Allah; dan Ulama yang berilmu tentang ajaran Allah
tetapi tidak berilmu tentang. Seorang Ulama yang berilmu tentang Allah ialah
yang takut (merasa dahsyat) kepada Allah, dan yang berilmu tentang ajaran Allah
ialah yang mengetahui batas-batasnya dan kewajiban-kewajibannya. Allah
berfirman: “sesungguhnya yang benar-benar merasa dahsyat kepada Allah dari
kalangan paran hambaNya hanyalah para
Ulama” QS:35:28. Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang yang merasa kedahsyatan
(takut) kepada Allah adalah seorang Ulama dan dia adalah orang yang benar ,
namun tidak berarti setiap Ulama merasa dahsyat atau takut kepada Allah. tetapi karena adanya keilmuan tentang Dia
semestinya mengharuskan adanya kedahsyatan jika tidak ada suatu halangan, maka
ketiadaan kedahsyatan kepada Allah itu merupakan petunjuk akan lemahnya pangkal
(yaitu keulamaannya); sebab jika memang pangkal itu kuat tentu ia mampu
menyingkirkan halangan tersebut. Demikian pula dengan perkataan “akal” yang
dimaksud adalah kecenderungan pembawaan naluri suci yang dengan itu orang
berilmu, dan dengan itu juga dimaksudkan berbagai jenis ilmu, kemudian
dimaksudkan pula adanya amal karena adanya ilmu itu. Maka begitu pula perkataan
bodoh (Jahl) diartikan sebagai tiadanya ilmu dan amal sebagai kemestian adanya
ilmu, sebagaimana disabdakan oleh Nabi “Jika seseorang diantara kamu berpuasa,
maka janganlah ia berbuat yang tidak senonoh dan bersikap bodoh berlapis
(al-Jahl Nurakkab). Mengacu kepada pengertian ini. Jika orang lain
mengumpatinya atau menyerangnya maka hendaklah ia berkata: aku sedang berpuasa.
Jadi puasa disini ialah berkata palsu, setara dengan jahl murakkab. Mengacu
kepada pengertian ini seorang penyair menggubah “ ala la yajhalana ahadin
‘alayna fa najhal- a fauqa jahli al jahilina” (jangan ada orang bersikap bodoh
melebihi kebodohan orang-orang bodoh).[11]
Jadi menurut isyarat Abu Hayyan, selalu ada
kemungkinan tampilnya seorang “Ulama bodoh” , suatu ungkapan yang mengesankan
kontradiksi terminology, tetapi benar-benar ada dalam kenyataan. Yaitu seorang
Ulama yang tidak merasa dahsyat
dihadapan Allah dan tidak mencerminkan kualitas keulamaannya sebagaimana
dikutip dari berbagai sumber otoritas dalam seluruh uraian di atas. Lebih buruk
lagi Ulama Jahat (Ulama al-su) sebagaimana istilah yang digunakan oleh
Al-Ghazali. Dalam hubungan dengan Ulama jahat itu, Ali bin Abi Thalib
memperingatkan: “Akan datang pada umat manusia zaman ketika dari Islam tinggal
hanya namanya dan dari al-Qur’an tinggal hurufnya. Mereka beramai-ramai ke
Masjid, namun bangunan itu telah kosong dari ingat kepada Allah.
sejahat-jahatnya warga zaman itu ialah para Ulama mereka, dari para Ulama
itulah keluar fitnah, dan kepada mereka pulalah fitnah itu menimpa kembali;
yaitu, mereka berilmu namun tidak melakukan amal sesuai dengan keharusan adanya
ilmu pada mereka.[12]
Dalam
kehidupan masyarakat muslim Indonesia, terdapat beberapa istilah padanan kata
ulama; 1). Kiai; secara sosiologis ia merupakan gelar pemberian sesama manusia.
Seorang yang telah menunaikan ibadah haji disebut kiai haji. Bahkan ada yang
disebut dengan kiai meskipun baru sebentar belajar di Pesantren. Demikian pula
seorang yang menjadi penghulu dengan kebiasaan membaca do’a, disebut kiai. Sebutan
kiai juga diberikan kepada pengajar ilmu mistik. Selain digunakan untuk sebutan
orang, juga digunakan untuk menyebut benda dan hewan. Gajah dikebun binatang
Gembira Loka Yogyakarta, misalnya, ada yang menyebut Kiai Rebo dan Kiai Wage.
Bedugpun disebut Kiai karena ia dipukul saat tiba waktu salat. Bentuk
sinkritisme dalam acara gerebek yang jatuh pada hari besar Islam. Benda-benda
keramat seperti tombak disebut kiai plered dan kiai Naga Wilaga (gamelan
perayaan sekaten di Yogyakarta). Semua ini menunjukkan unsure dinamisme yang
memper-sonifikasikan kekuatan ke dalam
benda.[13] Sekitar
tahun 1972-an belum banyak kaum Muslimin senang digelari dengan Kiai. Sebab
masih identik dengan golongan masya-rakat berkain sarung dan menggunakan
bakiak. Sekarang kecenderungan berubah. Mereka yang baru sedikit ilmu agamanya
juga disebut kiai atau menyebut dirinya kiai. Pada umumnya, gelar kiai kini
diberi kepada orang yang mengajar santri di Pesantren. Paling tidak gelar Kiai
mulai dikenal sejak tahun 800 H. ini dibuktikan dengan sebutan Kiai Modjo dan
Mahfudz at-Turmusyi, pengarang kitab Minhaj Dawindadhar.[14]
Selain itu, dikenal pula Kiai Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah di Yogyakarta
(12 September 1926), Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdatul Ulama di Surabaya
(31 Januari 1926); Kiai Abdul Halim, pendiri Perserikatan Ummat islam di
Majalengka dan Kiai Ahmad Sanusi, Pendiri Persatuan Umat islam Indonesia di
Suabumi (5 April 1952).[15]
2).
Ulil Albab; gelar ini merupakan panggilan Allah SWT bagi setiap orang yang
ber-dzikir dan berpikir tentang segala ciptaan-Nya, baik dilangit maupun
dibumi. Sedangkan Jalaluddin Sayuthi menyebut ulul al-bab sebagai ashabul uqul’
yaitu orang-orang yang mempunyai akal
suci.[16]
Badruddin HSubky, mengemukakan ciri-ciri
ulul al-bab sebagai berikut: a). Memiliki kesadaran dzikrullah yang
dibuktikengan dengan perilaku dan keterikatan hanya kepada Allah, dalam keadaan
apa pun. Ia memiliki kemampuan tafakkur, yaitu membaca, mempelajari, dan
memi-kirkan alam semesta serta mengambil hikmahnya. Ia memiliki kesadaran bahwa
se-luruh ciptaan Allah memuat makna yang mendalam dan senantiasa menjauhi
larangan larangan Allah SWT. b). mempunyai kemampuan untuk memahami dan
menghayati Kiatabullah, memenuhi janji-janjinya, menghubungkan tali
persaudaraan, Takut kepada Allah, sabar, mengerjakan salat, menafkahkan sebagia
rizkinya dan melakukan segala perintahNya. c). sadar bahwa seluruh ilmu
pengetahuan bersumber dari karunia Allah dan wajib diamalkan agar bermanfaat
bagi umat manusa. d ). Me-miliki semangat juang untuk menguasai ilmu
pengetahuan sehingga meningkatkan kesadaran untuk beriman kepada Allah. e ).
Mampu memisahkan antara hak dan batil serta selalu berpihak kepada yang hak. f
). Pandai menetapkan sanksi hukum. g ). Kritis terhadap pendapat orang dan pandai menimbang dan menyimak dalil
mereka. h ). Pandai mengelolah hasil bumi dan memanfaatnya dengan benar.[17]
3).
Cendekiawan Muslim: Pengertian kata ini perlu dibedakan dengan Islamic
scientist. Cendikiawan Muslim adalah seorang muslim yang menguasai salah satu
bidang ilmu, seperti atom, nuklir, kedoktoran dan lain-lainnya. Sedangkan Islamic
scientist adalah sarjana non muslim yang mendalami ilmu keislaman seperti Snouk
Hurgronje, Kriemer dan Smith.[18]
D
Fungsi dan kewajiban Ulama.
Ulama menampati posisi dan fungsi penting
dalam kehidupan masyarakat, ia ber-posisi dan berfungsi sebagai 1). mishbahul
ardhi (pelita bumi), yaitu sebagai penerang dan penuntun umat mencapai
kebahagiaan dn kesejahteraan hidup di dunia dan akhirat. Kemudian 2). ulama
juga khalifah para Nabi (khulafa al-anbiya’) yaitu berposisi dan berfungsi sebagai
penggerak dan pendorong umat membangun kehidupan pribadi, keluarga dan
masyarakat. Yang ke 3). Berposisi dan berfungsi sebagai pengemban amanah Allah
atas makhluknya (umanaullah ‘ala khalqihi) yaitu sebagai pembimbing dan
penuntun umat manusia ke jalan yang di radio Allah SWT dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan yang ke 4). Ulama berposisi dan
berfungsi sebagai ahli waris para Nabi ( waratsatul anbiya’) yaitu sebagai
pemegang astafed perjuangan para Nabi dalam menyiarkan dan melestarikan risalah
Ilahiyah.[19]
Sungguh besar dan berat beban yang diemban
oleh Ulama, namun semuanya dilaksanakan dengan totalitas sebagai bagian dari
perjuangan hidup para Ulama. Semua beban yang diamanahkan kepada Ulama adalah
tugas mulia dalam menunaikan dan
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar,
terutama dalam memperjuangkan menegakkan tauhid dan mengajarkan ilmu
pengetahuan kepada manusia, dalam kontek ini Allah berfirman Q.S. Jumu’ah(62):2
uqèd Ï%©!$#
y]yèt/
Îû
z`¿ÍhÏiBW{$#
Zwqßu
öNåk÷]ÏiB
(#qè=÷Ft
öNÍkön=tã
¾ÏmÏG»t#uä
öNÍkÏj.tãur
ãNßgßJÏk=yèãur
|=»tGÅ3ø9$#
spyJõ3Ïtø:$#ur
bÎ)ur
(#qçR%x.
`ÏB
ã@ö6s%
Å"s9
9@»n=|Ê
&ûüÎ7B
ÇËÈ
2. Dia-lah yang mengutus kepada kaum yang buta
huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada
mereka, mensucikan mereka dan mengajarkan mereka Kitab dan hikmah (As Sunnah).
dan Sesungguhnya mereka sebelumnya benar-benar dalam kesesatan yang nyata,[20]
Posisi dan
fungsi penting Ulama, berkata Imam Bukhari ra. “Ulama
adalah , ahli waris seluruh Nabi.[21]
Karena Ulama
mempunyai peranan strategis dalam kehidupan umat manusia, tentu banyak kewa-
jiban yang harus dilakukan oleh para Ulama, Ain Najaf menyebutkan ada enam
tugas Ulama; 1). Tugas intelektual (al-‘amal
al-fikriy): ia harus mengembangkan berbagai pemikiran sebagai rujukan umat. Ia
dapat mengmbangkan pemikiran ini dengan mendirikan majlis-majlis ilmu,
pesantren , atau hauzat; menyusun kitab-kitab yang bermanfaat bagi manusia yang
meliputi ilmu al-Quran, al-hadist.
Aqaid, fiqih, usul fiqih, ilmu-ilmu aqliyah, matematika, tarikh, ilmu bahasa,
kedokteran, biologi, kimia dan fisika dan membuka perpustakaan ilmiah. 2).
Tugas membimbing keagamaan; ia harus menjadi rujukan dalam menjelaskan halal
dan haram. Ia mengeluarkan fatwa tentang berbaai hal yang berke- naan dengan
hukum-hukum islam. 3). Tugas komunikasi dengan umat (al-ittishal bil ummah; ia
harus dekat dengan umatyang dibimbingnya. Ia tidak boleh terpisah dan membentuk
kelas elit. Akses pada umat diperolehnya melalui hubungan langsung, mengirim
wakil ke setiap daerah secara permanen, atau menyampaikan khutbah.4). Tugas
menegakkan syi’ar Islam: Ia harus memelihara, melestarikan, dan menegakkan
berbagai manifestasi ajaran islam. Ini dapat melakukannya dengan membangun
Masjid, meramaikannya, dan menghidupkan ruh Islam di dalamnya. Dengan
menyemarakkan upacara-upacara keagamaan dan merevitalisasikan maknanya dalam
kehidupan yang actual; dan dengan meng-
Menghidupkan
sunnah Rasulullah saw sambil menghilangkan bid’ah-bid’ah jahiliyah dalam pemikiran
dan kebiasaan umat. 5). Tugas mempertahankan hak-umat: ia harus tampil membela
kepentingan umat, bila hak-hak mereka dirampas. Ia harus meringankan
penderitaan mereka dan melepas belenggu-belenggu yang memasung kebebasan
mereka. 6). Tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum mus-limin; Ulama
adalah Mujahidin yang siap menhgadapi lawan-lawan Islam bukan saja dengan pena
dan lisan, tetapi juga dengan tangan dan dada. Mereka selalu mencari syuhada
sebagai kesaksian atas komitmennya yang total terhadap Islam.[22]
E.
Ulama dan perkembangan intelektualisme; Kalam, Fiqih dan Tasawuf.
1.
Ulama dan perkembangan intelektual bidang kalam.
Ketika Nabi masih hidup, seluruh
permasalahan yang timbul dijawab langsung oleh Nabi saw, baik jawaban melalui wahyu
maupun penjelasannya sendiri ( hadis). Kehidupan keagamaan masa ini, masih
menyatu belum ada paham atau
aliran-aliran keagamaan. Menurut Atang Abd. Hakim, aliran ilmu kalam diawali
oleh peristiwa tahkim, yang menjadikan umat tiga kelompok; Umat Islam kelompok
pertama adalah pendukung Mu’awiyah di antaranya Amr bin Ash. Sedangkan kelompok
kedua adalah pendukung Ali bin Abi Thalib di antaranya Abu Musa al-Asy’ari. Dan
yang ketiga kelompok Khawarij, yang dipelopori oleh ‘Atab bin A’war dan ‘Urwah
bin Jarir.[23]
Permasalahan yang pertama kali muncul dalam
pembahasan intelektual Muslim (Ulama) adalah kalam tentang persoalan status
orang yang berdosa besar, apakah ia masih dapat disebut Muslim atau kafir.
Permasalahan ini, melibatkan berbagai kala-ngan Ulama; pertama kelompok Ulama
Khawarij ekstrem, berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut
Muslim.[24]
Kelompok kedua yang terlibat secara intelektual membahas masalah tersebut
adalah Murji”ah, mereka menjelaskan bahwa orang yang melakukan dosa besar
nasibnya akan diputuskan oleh Allah di hari Kiamat.[25]
Ulama-ulama Mu’tazilah Wasil bin Atha juga ikut serta menyumbangkan
intelektualitas-nya, dengan mengajukan pendapat “bahwa orang Muslim yang
berdosa besar, bukan-lah Muslim tetapi bukan pula kafir, pemikiran ini terkenal
dengan istilah “al-manzilah bayna al-manzilatayn”.[26]
Tokoh Ulama utama aliran Asy’ariyah Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari,
juga menyumbangkan pemekirannya, para
pendosa besar tetap mukmin yang fasik, karena iman tidak mungkin hilang karena
dosa selain kufur.[27]
Permasalahan kedua muncul dalam pembahasan
pemikiran Ulama tentang kalam adalah masalah perbuatan manusia, apakah manusia
memliki kemerdekaan dan kebe-basan dalam menentukan perjalanan hidupnya.
Terdapat dua jawaban intelektual Ulama; yang 1). Manusia mempunyai kebebasan
dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya, aliran pemikiran
kalam ini, terkenal dengan nama Qodariyah, karena memandang manusia memiliki
kekuatan (qudrah) untuk me-nentukan perjalanan hidupnya dan untuk mewujudkan
perbuatannya.[28]
Aliran pemikiran qodariyah banyak didukung oleh Ulama-ulama Mu’tazilah karena
mereka sama-sama percaya bahwa manusia mempunyai kemampuan untuk mewujudkan
tin-dakan tanpa campurtangan Tuhan.[29]
Salah satu tokoh Ulama Qodariyah al-Azzam, mengemukakan bahwa manusia hidup
mempunyai daya, ia berkuasa atas segala per-buatannya.[30]
Dari penjelasan di atas, dapat dipahami
bahwa doktrin Qodariyah pada dasarnya menyatakan bahwa segala tingkah laku
manusia dilakukan atas kehendak sendiri. Manusia mempunyai kewenangan untuk
melakukan segala perbuatannya atas kehen-daknya sendiri, baik berbuat baik
maupun berbuat jahat. Oleh karena itu, ia berhak mendapatkan pahala atas
kebaikan-kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak memperoleh hukuman atas
kejahatan-kejahatan yang diperbuatnya. Dalam kaitan ini, bila seorang diberi
ganjaran baik dengan balasan surge kelak di akhirat dan diberi ganjaran
siksa dengan balasan neraka kelak di
Akhirat, itu adalah berdasarkan pilihan pribadinya sendiri, bukan kehendak
Tuhan. Sungguh tidak pantas manusia menerima siksaan atau tindakan salah yang
dilakukan bukan atas keinginan dan kemampuannya sendiri.[31]
Paham Qodariyah menegaskan bahwa tidak ada
alasan yang tepat untuk menyan-darkan
segala perbuatan manusia pada perbuatan Tuhan. Landasan pemikiran
qoda-riyah didasarkan pada :
1. Q.S
Al-Kagfi(18):29
2.
`yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
È.