A.
Pendahuluan.
Secara histotis Pesantren adalah
institusi pendidikan Islam yang tertua dan memiliki akar sejarah yang jelas,
serta dapat ditelusuri sampai ke pendiri pesantren pertama kali. Memang
terjadi perbedaan siapa yang pertama kali mendirikan Pesantren. Mujamil Qomar
menyebutkan paling tidak ada tiga pandangan tentang hal itu: pertama yang
berpandangan bahwa pendiri Pesantren pertama ialah Syaikh Maulana Malik
Ibrahim, dari Gujarat India, kedua berpandangan bahwa Sunan Ampel atau Raden
Rahmat lah orang pertama yang mendirikannya,
yang ketiga; berpendapat Syaikh Sarif Hidayatullah yang mendirikan pesantren
pertama di Nusantara.[1] Perbedaan tersebut menurut penulis suatu hal
yang lumrah terjadi dan sah-sah saja, namun yang esensial adalah ketiga tokoh
pendiri tergabung dalam kelompok penyebar agama islam yang dikenal dengan wali
Songo yang sama-sama memiliki kometmen tinggi terhadap pendidikan Islam dan
tentu memiliki tantangan yang berbeda dan kondisi cultural yang tak sama. Namun
walaupun demikian ada analsis yang cukup cermat dalam menanggapi persoalan di
atas, yang mengatakan bahwa Malik Ibrahim sebagai peletak dasar pertama
sendi-sendi berdirinya pesantren, sedangkan Raden Rahmat sebagai wali Pembina
pertama di Jawa Timur, dan adapun Sunan Gunung Jati ( Syaikh Syarif
Hidayatullah) mendirikan Pesantren sesudah Sunan Ampel.[2]
Perkembangan Pesantren tidak terlepas
dari berbagai rintangan-rintangan, terutama benturan-benturan dengan
nilai-nilai yang berlaku di tengah masyarakat, Mastuhu meng-informasikan bahwa
tantangan terberat generasi awal Pesantren adalah agama Hindu-Budha yang dianut
masyarakat di mana psantren itu berada dan kepercayaan serba Tuhan dan Tahayyul.[3]
Tantangan lain yang tak kalah beratnya adalah perjuangan melawan kemaksiatan
seperti perkelahian, perampokan, pelacuran, perjudian dan sebagainya. Namun
akhir pertarungan dengan kemaksiatan dimenangkan oleh pesantren, yang me-ngubah
wajah masyarakat maksiat menjadi masyarakat aman, tenteram dan rajin ibadah.[4]
Pesantren juga mendapat tantangan dan penyerangan dari penguasa saat itu,
disebabkan mereka merasa tersaingi kewibawaannya, perlakuan ini terjadi di
antaranya terhadap Sunan Giri, seketika merintis Pesantren di Kedaton, diserang
dan terancam pembunuhan atas perintah raja Majapahit (Prabu Brawijaya).[5]
Kendatipun Pesantren dihadapkan berbagai
tantangan, baik cultural, ajaran agama Hindu Budha yang dianut masyarakat
maupun Penguasa yang merasa kehilangan wibawa dan tersaingi. Pesantren tumbuh
berkembang bukan saja sebagai pusat pendidikan Islam dan dakwah Islam, akan
tetapi ia berpungsi juga sebagai lembaga
ritual dan juga lembaga pembinaan moral. Pesantren tetap eksis ditengah
masyarakat mulai abad ke 15 M sampai saat ini.[6]
Ketika kolonial Belanda datang ke
Indonesia, kemajuan pendidikan dan penyiaran Islam sedang mengalami
perkembangan yang pesat. Nampaknya kondisi tersebut dianggap oleh kolonial
Belanda sebagai ancaman keeksistensian mereka di tanah jajahan. Oleh karenanya
setelah terjadi perjanjian Gianti tahun 1755 M, Belanda mulai berusaha
melumpuhkan pengaruh islam di Jawa. Tekanan terhadap Islam semakin kuat ketika
pengeran Diponegoro ditaklukkan pada tahun 1830 M.[7]
Tekanan Belanda terhadap Pesantren tidaklah mengakibatkan eksistensinya hilang,
tetapi tetap bertahan dan berkembang. Bahkan memberi perlawanan sengit terhadap
penjajah Belanda, yang di dicatat oleh Clifford Geertz bahwa anata tahun 1820 –
1880, kaum santri telah melakukan empat kali pemberontakan terhadap penjajah
Belanda; 1).Perang Padri di Sumatera Barat berlangsung tahun 1820-1828. 2).
Pemberontakan yang dipimpin oleh Pengeran Diponegoro di Jawa Tengah tahun
1826-1830, 3). Pemberontakan Banten, pemberontakan petani 1834, 1836, 1842,
1849, 1880 dan 1888. 4). Pemberontakan Aceh tahun 1873-1903.yang dipimpin Cik
Ditiro, panglima Polem, Cut Nyak Din dan lain-lain.[8]
Walaupun berbagai upaya dilakukan oleh
kolonial Belanda untuk melumpuhkan pesantren, namun Pesantren tetap mampu
mempertahaankan diri disamping sebagai lembaga pendidikan dan penyiaran Islam.
Pesantren juga muncul sebagai pusat perlawanan terhadap kolonial Belanda.
Pesantren yang tradisional diparuh abad
ke 19 M, dihadapkan sebuah tantangan lain yaitu modernisasi. Menurut Anik
Farida secara historis, aspek modernitas sebenarnya telah dinampakkan oleh
Pesantren jauh sebelum kemerdekaan, yakni sejak dilancarkannya perubahan atau
modernisasi pendidikan Islam di kawasan Muslim. Modernisasi paling awal sistem
pendidikan di Indonesia, harus diakui tidak bersumber dari kalangan Muslim
sendiri. Sistem pendidikan modern pertama kali yang kemudian mempengaruhi
sistem pendidikan Islam, justru diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda
pada paruh abad ke 19 M. ini bermula dengan adanya perluasan kesempatan pribumi
untuk mendapatkan pendidikan, sebagai akibat penerapan politik ethis. Program
ini dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan mendirikan
sekolah-sekolah rakyat atau sekolah nagari.[9]
Dalam kontek modernitas Pesantren, mulai
muncul diawal abad ke 20, yaitu mulai munculnya dua model lembaga pendidikan
Islam modern. Pertama berbentuk sekolah Umum yang diberi muatan pengajaran
Islam dan kedua Madrasah Modern yang secara terbatas mengadopsi substansi dan
metodologi pendidikan modern Belanda. Sebut saja contohnya Sekolah Adabiyah di
padang pada tahun 1909 M untuk model sekolah Umum dan al-Jami’atul Khairiyah
atau sekolah Diniyah Thawalib.[10]
Modernisasi Pesantren semakin nampak,
pasca Indonesia merdeka, muncul berbagai Pondok Pesantren dengan label modern,
seperti Pondok Modern Darussalam Gontor, Azzaitun Indramayu, Diniyah Puteri
Padang Panjang dan lain-lain. Nampaknya Pesantren modern sekarang ini telah
menjadi trend dikalangan umat Islam, yang memandang pesantren modern adalah
lembaga pendidikan yang tetap untuk pendidikan anak-anak mereka, yang diyakini
mampu memberikan distribusi bagi nyata bagi kebutuhan hidup ditengah
masyarakat. Pandangan tersebut dapat diterima, jika kita melihat usaha
pendidikan Pesantren Modern yang memadukan kepentingan keduaniaan dan keagamaan.
Sungguh kajian yang menarik, sebab
pesantren modern secara esensi telah menunjukkan perannya dalam
mengintegrasikan berbagai aspek pendidikan dalam kontek kemodernan yang diharap
mampu menjawab tantangan zaman melenium tiga ini. Sehubungan dengan pembahasan
penulis tentang Pesantren Modern Integrasi Pendidikan Islam, maka sistimatika
dalam makalah ini akan dibahas hal-hal : a). Pendahuluan b).Pengertian
Pesantren modern, c).Unsur Anorganik Pesantren, d). Unsur Organik Pesantren
Modern e). Integrasi pendidikan Islam dalam Pesantren Moder,f). analisa
penulis..
B.
Pengertian Pesantren Modern.
Secara etimologi, pesantren berasal dari
kata “santri” yang mendapat awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an’ yang berarti tempat
tinggal santri.[11]
Pengertian yang berbeda tentang pengertian Pesantren dapat ditemukan dalam
Ensiklopedi Islam, bahwa pesantren berasal dari bahasa Tamil yang artinya guru
mengaji atau dari bahasa India “Shastri” dan kata “Sastra” yang berarti
buku-buku suci, buku-buku agama atau ilmu tentang pengetahuan.[12] Pesantren digunakan di Jawa untuk menyebutkan
sebuah lembaga pendidikan Islam, di luar Jawa pesantren biasanya disebut Surau
(Minangkabau), dayah (Aceh) dan langgar di sebagian Jawa.[13]
Dari ungkapan diatas dapat diartikan Pesantren adalah sebuah tempat santri
belajar ilmu-ilmu agama.
Adapun pengertian pesantren secara
terminologis, M. Arifin mendefinisikan sebagai sebuah pendidikan islam yang
tumbuh serta diakui oleh masyarakat sekitar.[14]
Menurut Amin Abdullah memaknai pesantren sebagai pusat persemaian, pengalaman
dan sekaligus penyebaran ilmu-ilmu keislaman.[15]
Kedua definisi tersebut mengartikan Pesantren sebagai pusat ilmu keIslaman. Menurut
Matsuhu, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional untuk
mempelajari, memahami dan mendalami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam dengan menekankan pentingnya
moral keagamaan sebagai pedoman perilaku sehari-hari.[16] kata tradisional tersebut tidak selalu
identik dengan keterbelakangan, kolot dan tertutup dengan perkembangan zaman. Akan
tetapi menurut Ahmad Muthahar lembaga tradisional dapat diartikan sebagai lembaga yang secara
konsisten mempertahankan dan mengemangkan tradisi khazanah keilmuan Islam dan
telah menyejarah sudah cukup lama dan mapan sebagai model pendidikan islam.[17]
Disamping yang memandang pesantren sebagai pusat keilmuan Islam, sebaliknya
Marwan Saridjo, menyebut pesantren adalah lembaga pendidikan Islam yang
sekurang-kurangnya memiliki tiga unsur yaitu; 1). Kyai yang mendidik dan
mengajar, 2). Santri san 3). Masjid.[18]
Dapat disimpulkan bahwa pesantren adalah
sebuah lembaga pendidikan Islam, yang diakui keberadaannya oleh masyarakat,
sebagai pusat mempelajari, memahami, mendalami ilmu-ilmu keislaman, untuk
dihayati dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari yang berlandaskan moral
agama, dengan ciri khas yaitu, Kyai, santri dan masjid.
Adapun yang dinamakan pesantren modern
adalah pesantren yang melakukan pembaharuan (modernisasi) dalam sistem
pendidikan, kelembagaan, pemkiran dan fungsi.[19]
C.
Unsur-unsur anargonik Pesantren.
Unsur anargonik pesantren menurut Ahmad
Muthohar terdiri dari a). Tujuan Pesantren, b).Nilai Pesantren, c). Fungsi
Pesantren, d). Prinsip Pesantren dan e). Kurikulum Pesantren.[20]
a). Tujuan Pesantren.
Tujuan pendidikan Pesantren tidak
semata-mata untuk memperkaya pikiran murid-murid dengan penjelasan-penjelasan,
tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai
nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajar sikap dan tingkah laku yang bermoral,
dan menyiapkan para murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.[21] Tujuan pendidikan pesantren yang lebih
konprehensif sebagai yang dikutip Ahmad Muthohar dari Mastuhu adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim yaitu kepribadian yang beriman
dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat dan berkhidmat kepada
masyarakat, mampu berdiri sendiri, bebas dan tangguh dalam kepribadian,
menyebarkan agama dan menegakkan islam, mencintai ilmu dalam rangka
mengembangkan kepribadian Indonesia.[22] .
Mujammil Qomar mengungkapkan dua tujuan
pendidikan pesantren; pertama tujuan umum yaitu membina warga Negara agar
berkepribadian Muslim sesuai dengan ajaran-ajaran Islam dan menanamkan rasa
keagamaan tersebut pada semua segi kehidupannya serta menjadikannya sebagai
orang yang berguna bagi agama, masyarakat dan Negara. Kedua ; tujuan khusus
yaitu: 1). Mendidik siswa/santri anggota masyarakat untuk menjadi orang Muslim
yang bertakwa kepada Allah SWT, berakhlak mulia, memiliki kecerdasan, siswa/santri
untuk menjadi manusia Muslim selaku kader-kader Ulama dan mubalig, yang berjiwa
ikhlas, tabah, tangguh, wiraswasta dalam mengamalkan ajaran Islam secara utuh
dan dinamis, 3). Mendidik siswa/santri untuk memperoleh kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya dan bertanggung jawab kepada
pembangunan bangsa dan negar, 4).mendidik tenaga-tenaga penyuluh pembangunan
mikro (keluarga) dan regional (pedesaan,/masyarakat lingkungannya, 5). Mendidik
siswa/santri agar menjadi tenaga-tenaga yang cakap dalam berbagai sektor
pembangunan, khususnya pembangunan mental spiritual, 6). Mendidik siswa/santri
untuk membantu meningkatkan kesejahteraan
sosial masyarakat lingkungan dalam rangka usaha pembangunan masyarakat
bangsa.[23]
Semua tujuan yang diungkapkan di atas,
menegaskan bahwa pendidikan pesantren memiliki posisi strategis dan penting
dalam membentuk manusia-manusia Indonesia dengan sumber daya insane yang mapan
spiritual, intelektual dan trampil dibingkai dengan akhlak mulia, sensitivitas
terhadap lingkungan dan terbuka terhadap kemajuan zaman.
b). Nilai Pesantren.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan
Islam niscaya dalam operasionalnya mengacu pada prinsip-prinsip nilai-nilai
yang diajarankan oleh Islam itu sendiri, terutama nilai-nilai kebenaran
al-Qur’an dan hadis. Oleh karenanya Ahmad Muthohar menegaskan bahwa pendidikan
Pesantren didasari dan digerakkan dan
diarahkan oleh nilai-nilai kehidupan yang bersumber pada pada ajaran dasar
Islam. Nilai ini secara kontekstual disesuaikan dengan realitas sosial
masyarakat. Perpaduan kedua sumber inilah yang membentuk pandangan hidup dan
menetapkan tujuan yang akan dikembangkan
oleh Pesantren.[24]
Nilai-nilai dasar pesantren sebagai yang
dikutip Ahmad Muthohar dari Mastuhu digolongkanmenjadi dua kelompok, yaitu: 1).
Nilai-nilai agama yang memiliki nilai-nilai kebenaran mutlak yang bersifat
fiqih-sufistik dan berorientasi pada kehidupan ukhrawi, dan 2). Nilai-nilai agama
yang bernilai relative, bercorak empiris dan pragmatis untuk memecahkan
berbagai persoalan kehidupan menurut hukum agama islam.[25] Kedua nilai ini mempunyai hubungan vartikal
dan hirarkis. Dalam kaitan ini, Kyai menjaga nilai-nilai agama kelompok pertama,
sedang ustaz dan santri menjaga nilai-nilai kelompok kedua. Hal inilah yang
menyebabkan dalam sistem pendidikan pesantren sosok Kyai menjadi sosok yang
menentukan setiap perjalanan dan aktivitas pesantren.
c. Fungsi Pesantren.
Secara historis fungsi pesantren selalu berubah sesuai dengan tren masyarakat
yang dihadapinya, seperti masa-masa awal berdiri pesantren di zaman Syaikh
Maulana Malik Ibrahim, berfungsi sebagai pusat pendidikan dan penyiaran Islam.
Kedua fungsi bergerak saling menunjang. Pendidikan dapat dijadikan bekal dalam
mengumandangkan dakwah, sedangkan dakwah dapar dimanfaatkan sebagai sarana
dalam membangun sistem pendidikan. Pesantren dimasa awal ini, lebih dominan
sebagai lembaga dakwah, sedangkan unsur pendidikan sekedar membonceng misi
dakwah.[26] Saridjo dkk, mempertegas fungsi pesantren
pada kurun wali songo adalah mencetak calon ulama dan mubalig yang militant
dalam menyiarkan agama islam.[27]
Seiring dengan perkembangan zaman fungsi
pesantrenpun ikut bergeser dan berkembang, sejalan dengan perubahan-perubahan
sosial kemasyarakatan, di zaman kolonial Belanda fungsi pesantren disamping
sebagai pusat pendidikan dan dakwah, juga sebagai benteng pertahanan. Sebagai
diungkapkan oleh A. Wahid Zaeni pesantren sebagai basis pertahanan bangsa dalam
perang melawan penjajah demi lahirnya kemerdekaan. Maka pesantren berfungsi
sebagai pencetak kader bangsa yang benar-benar patriotic; kader yang rela mati
demi memperjuangkan bangsa, sanggup mengorbankan seluruh waktu, harta dan jiwanya.[28]
Pesantren juga dapat berfungsi sebagai
lembaga Pembina moral dan kultural, yang menurut Ma’shum ada tiga yaitu 1). Fungsi relegius (diniyah), 2). Fungsi sosial (ijtimaiyah) dan fungsi edukasi. Ketika fungsi ini, masih berjalan sampai
sekarang.[29]
Sejalan ketiga fungsi tersebut, Ahmad Jazuli dkk, mempertegaskan lagi bahwa
fungsi pertama adalah menyiapkan santri mendalami dan menguasai ilmu agama
Islam atau tafaqquh fiddin, yang diharapkan dapat mencetak kader-kader ualama
dan turut mencerdaskan bangasa, kedua; dakwah menyebarkan Islam, dan ketiga
benteng pertahanan moral bangsa dengan landasan akhlak karimah.[30]
Fungsi pesantren yang multidimensional
sungguh mempertegas, bahwa pesantren telah memberikan sumbangan besar terhadap
bangsa Indonesia, baik dalam hal mencerdaskan ,memperjuangkan, memerdekakan
,mempertahankan, membangun maupun
memajukan bangsa Indonesia. Yang jelas fungsi pesantren bukan hanya edukasi dan
dakwah, akan tetapi juga sebagai center pertahanan akhlakul karimah, pencetak
manusia Indonesia berdedikasi tinggi dengan spritualitas, intelektualiatas,
berketrampilan dan terbuka dengan perkembangan zaman.
d. Prinsip-prinsip Pesantren.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan
yang multidimensional niscaya tidak akan bertahan diterpa berbagai badai
perubahan zaman. Di muka telah diuraikankan bagaimana fungsinya yang demikian
konprehensif dalam sejarah Indonesia, yang bukan hanya memfungsikan diri
sebagai pencetak masyarakat yang melek huruf dan budaya, akan tetapi ia juga
berfungsi sebagai mesin pertahanan spiritual dan moral serta memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia dan berperan serta membangun dan memajukan bangsa
Indonesia. realitas sejarah memperlihatkan kepada kita, bagai mana pesantren
tetap eksis dalam perubahan zaman. Kesemuanya terjadi, disebabkan pesntren
memiliki prinsip-prinsip nilai yang melandasinya.
Menurut Mastuhu, sebagai yang dikutip
Ahmad Muthohar pesantren mempunyai prinsip-prinsip sebagai berikut; 1).
Teosentris; artinya sistem pendidikan pendidikan pesantren mendasarkan falsafah
pendidikannya pada falsafah teosentris. 2). Suka rela dan mengabdi; karena
mendasarkan kegiatan pendidikan sebagai suatu ibadah, penyelenggaraan pesantren
dilaksanakan secara suka rela (ikhlas) dan mengabdi semata-mata dalam rangka
beribadah kepada Allah SWT, 3). Kearifan; yakni bersikap prilaku sabar, rendah
hati, patuh kepada ketentuan hukum agama, tidak merugikan orang lain, dan
mendatangkan manfaat bagi kepentingan bersama menjadi titik tekan dalam
kehidupan pesantren dalam rangka mewujudkan sikap arif, 4). Kesederhanaan;
salah satu nilai luhur pesantren dan menjadi pedoman perilaku warganya adalah penampilan sederhana, dalam artian
tetap berkemampuan, bersikap dan berpikir wajar, professional dan tidak
merugikan orang lain. 5). Kolektivitas; pesantren menekankan pentingnya
kolektivitas daripada induvidualisme. Implikasi dari prinsip ini, di Psantren
berlaku pendapat bahwa dalam masalah hak seseorang harus mendahulukan
kepentingan orang lain, sedangkan dalam masalah kewajiban, dia harus
mendahulukan kewjibannya sendiri sebelum orang lain.
Prinsip ke 6). Mengatus kegiatan
bersama. Merujuk kepada nilai-nilai pesantren yang bersifat relative, santri,
dengan bimbingan ustaz dan kiai, mengatur hampir semua kegiatan proses
belajarnya sendiri, 7). Kebebasan terpimpin. Prinsip ini digunakan pesantren
dalam menjalankan kebijakan kependidikannya. 8). Mandiri; dalam kehidupan
pesantren, sifat mandiri tanpa jelas. Sikap ini dapat dilihat dari aktivitas
keseharian santri dalam mengatur dan bertenggung jawab atas keperluannya
sendiri, 9). Mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Pesantren sangat mementingkan
pengamalan nilai-nilai ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari, sehingga
kehidupannya selalu dalam rambu-rambu hukum Islam, 10). Pesantren adalah tempat
mencari ilmu dan mengabdi. Ilmu bersifat suci dan tidak terpisah dari bagian
agama, sehingga moder berpikirpun beranhkat dari keyakinan dan berakhir pada
kepastian. Ilmu tidak dipandang sebagai kemampuan berpikir metodologis, melainkan
sebagai berkah.
Sedangkan prinsip yang ke 11). Tanpa
ijazah. Seiring dengan prinsip-prinsip sebelumnya, pesantren tidak memberikan
ijazah atau sertifikatsebagai tanda keberhasilan belajar.Alasannya,
keberhasilan tidak diukur dengan ijazah yang ditandai dengan angka-angka,
tetapi diukur dengan prestasi kerja yang diakui oleh masyarakat, 12). Restu
Kyai. Dalam kehidupan Pesantren, semua aktivitas warga pesantren sangat
tergantung pada restu kyai, baik ustaz, pengurus, maupun santri.[31]
e. Kurikulum
Dalam abad ke 19 M, sulit ditemukan
rincian pelajaran di Pesantren, namun ada sedikit petunjuk secara implicit dari
hasil penelitian L.W.C. Van den Berg sebagai yang dikutip Steenbrink bahwa
materi tersebut meliputi fiqih, tata bahasa arab, ushul al din, tasawuf dan
tafsir.[32] Ahmad Muthohar berpendapat bahwa materi
pelajaran ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah
yang dibahas dalam suatu kitab, sehingga terdapat tingkat awal, tingkat
menengah dan tingkat lanjut. Materi pelajaran awal pesantren dimulai dengan
membaca al-Qur’an dan praktek ibadah kemudian berkembang pada mata pelajaran
yang lain.[33]
Terdapat delapan kelompok kitab yang diajarkan di Pesantren yaitu; 1). Nahu,
2). Sharaf, 3). Fiqih, 4). Ushul Fiqih, 5).Tafsir, 6). Tauhid, 7). Tasawuf dan
etika, cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah.[34]
Menurut Marwan Saridjo, untuk tingkat
lanjut pertama pada umumnya pesantren menggunakan di antaranya : 1). Nahu;
Tahrijul Aqwal, matan aljurumiyah dan mutammimah, 2). Sharaf; Matan bina
salsalatul Mukhdal, al-Kailani dan al-Mathub, 3).Fiqih: Matan Taqrib, fathul
qorib atau al-Baijuri, Fathul Mu’in atau I”anatu thalibin, 4).Tauhid: Matan
Assanusi, Kifayatul awam dan Hudhadi, 5). Usul Fiqih: al-Waraqat, Lathaiful
Isyarah dan Ghayatul Wushul, 6). Mantiq; Matan Sulam dan Idhahul Mubham, 7).
Al-Balaghah: Majmu’ Khamsir Rassail dan al-bayan, 8). Tasawuf /Akhlak: Maraghi
al-Ubudiyah dan Tanbihul Ghafilin. Dan untuk tingkat tahssus para santri
diperkenankan mempelajari kitab-kitab: 1). Hukum Islam: Tuhfatul Muhtaj,
Nihayatul Muhtaj, 2). Hadis: Fathul bari, Qusthalani, 3). Tasawuf: syarah Ihya
ulumuddin Ibnu Arabi, 4). Tafsir : Ibnu Jarir at-Thabari dan 5). Kitab-kitab
besar atau pengetahuan khusus lainnya.[35]
Pengajaran pada tingkat tinggi Pesantren
adalah metode seminar bagi santri lanjut dan ustaz-ustaz. Sistem ini
terorganisir dan terlaksana dalam pesantren-pesantren besar sebagai kelas
“musyawarah”. Dari tiap peserta diharapkan secara insentif mempersiapkan diri
untuk setiap tema dan mempelajari bahan-bahan yang lebih sukar. Kemudian Kiai
memberikan ceramah dalam tema-tema yang telah disepakati atau tafsir ayat-ayat
yang relevan, yang akhirnya dibahas oleh peserta di antara mereka sendiri.
Penjelasan dan keterangan diarahkan oleh seorang pempinan diskusi yang diangkat
sebagai moderator. Pimpinan seminar kemudian menyampaikan hasil-hasil semenar
kepada Kiai, kemudian kyai menyampaikan pandangannya tentang tema-tema yang
dibahas dalam seminar.[36]
Menurut Ahmad Jazuli dkk, Madrasah atau
sekolah yang diselenggarakan oleh pondok pesantren menggunakan kurikulum yang
sama dengan kurikulum di Madrasah atau sekolah lain yang telah diberlakukan oleh Depertemen Agama dan Depertemen
Pendidikan Nasional. Lembaga pendidikan lain yang diselenggarakan oleh pondok
pesantren selain Madrasah dan sekolah kurikulumnya disusun oleh
penyelenggara/pondok pesantren yang bersangkutan.[37]
D.
Unsur Organik Pesantren.
Berbagai model pesantren bermunculan,
dengan berbagai variasi. Pesantren memiliki unsur minimal: 1) Kiai yang
mendidik dan mengajar, 2). Santri yang belajar, 3). Masjid. Ketiga unsur ini
mewarnai pesantren sejah awal berdirinya atau bagi perantren yang belum mampu
mengembangkan fasilitasnya.[38]
Ahmad Jazuli dkk, bahwa ada lima
unsur-unsur yang harus ada dalam pesantren: 1). Kiai, 2). Santri, 3).
Pengajian, 4. Asrama, dan 5). Masjid,[39]
ada juga yang membagi pesantren menjadi
lima kelompok: pertama: hanya terdiri dari Rumah Kiai dan Masjid, kelompok
kedua: terdiri dari Masjid, Rumah Kiai dan pondok, kelompok ketiga: memiliki
masjid, rumah Kyai, pondok(asrama), pendidikan formal, dan pendidikan
keterampilan; dan kelima, memiliki Masjid, rumah Kiai, pondok (asrama),
madrasah, dan bangunan-bangunan fisik lainnya.[40]
Adapun unsur dominan dalam pesantren
modern sekarang, disamping Masjid, Rumah Kiai dan ustaz, pondok (asrama),
madrasah, dan bangunan lain, aula, balai pengobatan, perpustakaan, koperasi dan
lapangan olah raga.
1). Masjid; masjid adalah unsur
terpenting dalam lembaga pendidikan pesantren, sebab masjid disamping sebagai
tempat ibadah sholat, ia juga dijadikan sebagai pusat kegiatan pesantren baik
yang berkaiatan dengan keilmuan maupun kemasyarakatan. Abdurrahman Wahid
menyebutkan bahwa masjid berperan sebagai tempat mendidik dan menggembeleng
santri agar lepas dari hawa nafsu, berada ditengah-tengah komplek
pesantren adalah mengikuti model wayang.
Ini sebagai indikasi bahwa nilai-nilai cultural
2). Kiai dan ustaz ( guru). Kiai
merupakan tokoh sentral dalam pondok tradisional maupun modern. Ia jadi panutan
bagi santri maupun masyarakat luas. Muhammad Tholhah Hasan menegaskan empat
peranan penting kiai; keilmuan, spiritualitan, sosial dan administrasi.[41]
Pada pesantren modern peranan kiai sudah banyak dialihkan kepada ustaz-ustaz,
terutama dalam proses pembelajaran di kelas dan mengurus santri di asrama.
3). Pondok (asrama); tempat menetap
santri selama menuntut ilmu. Ada perbedaan antara pondok dan asrama. Kalau
pondok didirikan secara gotong royong dari santri yang telah belajar di
pesantren.[42]
Sedangkan asrama dibangun dan disiapkan oleh pihak pesantren dengan sarana yang
memadai.[43]
Pada pesantren modern asrama betul-betul disiapkan secara baik lengkap dengan
sarana penunjang.
4). Madrasah; sarana yang dibangun dengan
sistem kelas, untuk tempat pelaksanaan proses pembelajaran formal. Sistem
madrasah mulai terjadi pada akhir abad ke 19 M. dan menjadi model pendidikan
madrasah sekarang dilakukan di hampir setiap pesantren. Terutama pesantren modern,
yang menjadikan sistem madrasah sebagai bagian terpenting dalam aktivitas
kepesantrenannya.
5. Sarana-sarana penunjang lainnya;
seperti gedung serbaguna, olah raga, dan koperasi telah menjadi bagian penting
dalam pesantren, terutama pesantren modern.
E. Integrasi pendidikan Islam
dalam pesantren Modern.
[1].Mujammil
Qomar, Pesantren Dari Tranformasi Metodologi menuju Demokratisasi Instuisi,
Erlangga, Jakarta, tanpa tahun, hal. 8
[2].
Ibid, hal. 9.
[3].Mastuhu
“ dalam Wacana Baru Fiqih Sosial 70
tahun KH. Yafie, Mizan bandung, 1997,
hal.. 259-260.
[4].
Abu Bakar Aceh, Sejarah Hidup K.H.A
Wahid Hasyim dan Karangan tersiar, tanpa penerbit, 1957, hal. 77.
[5].
Mujammil Qomar, Opcit, hal. 11
[6].
Ibid, hal. xiii
[7].
Marwan Sarijo dkk, Sejarah Pondok
Pesantren di Indonesia, Dharma Bhakti, Jakarta, 1979, hal. 35.
8. Ibid. hal.46
[9].
Anik farida dkk, Modernisasi Pesantren, Depag RI Balai Penelitian Dan
Pengembangan Agama, Jakarta, 2007, hal.
3
[10].
Loc Cit.
[11].
Zamakhsyari Dofir, Tradisi Pesantren; Studi tentang pandangan hidup Kyai,
LP3ES, Jakarta, 1982, hal. 18.
[12]
. Hasan Shadily, Ensiklopedi Islam, Ichtiar baru Van Hoeve, Jakarta, 1993, hal.
99.
[13]
. Ahmad Muthohar, AR, Idologi Pendidikan Pesantren, Pustaka, Jakarta, 2007, hal.11.
[14].
M. Arifin, Kafita Selekta Pendidikan islam dan Umum, Bumi Aksara, Jakarta,
1991, hal. 240
[15].
Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka pelajar,
Yogyakarta, 1995,ha.,3
[16].Matsuhu,
Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, Jakarta, 1994, hal.32.
[17].
Ahmad Muthohar, Ibid, hal.13.
[18].
Marwan Saridjo, Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, Dharma Bhakti, Jakarta,
1979, hal 13.
[19].
Anik Farida, Op Cit, hal. 9
[20].
Ahmad Muthohar, Op Cit. 18-24.
[21].
Dhofir, OpCIt, hal. 21.
[22].
Ahmad Muthohar, Op Cit, hal. 19.
[23].Mujammil
Qomar, Ibid, hal. 6-7.
[24].
Ibid, hal. 20.
[25].Loc
Cit.
[26].Mujammil
Qomar, Ibid, hal 23.
[27].Marwan
Saridjo dkk, Ibid, hal. 34
[28].
Loc Cit.
[29].
Mujammil Qomar, op Cit.
[30].Ahmad
Jazuli dkk, Kapita Selekta Pendidikan Islam, PPSB STAIN Bengkulu, 2006, hal 75.
[31].
Ahmad Muthohar, Iid, hal.21-23.
[32].
Mujammil Qomar, Ibid, 111
[33].Ahmad
Muthohar, op Cit, 24.
[34].Makhsari
Dofier, Op Cit, hal. 50.
[35].
Marwan saridjo dkk, Op Cit, hal.27
[36].Ahmad
Muthohar, Op Cit. hal. 28-29.
[37].Ahmad
Jazuli dkk, Op Cit, hal 82.
[38].Mujammil
Qomar, Op Cit, hal. 19
[39].
Ahmad Jazuli, dkk, Opcit, hal. 80.
[40]
Marwan Sarudjo, OpCit, hal. 10-11.
[41].
Muhammad Tholhah Hasan, Santri Perlu Wawasan baru, dalam Santri No, 6 Juni
1997, hal. 20
[42].Saifuddin
Zuhri, kiai Haji Abdul Wahab Khasbullah Bapak dan Pendidiri Nahdhatul Ulama,
Pustaka Falakiayah, Yogyakarta, 1983, hal. 104.
[43].
Mujammil Qomar, Op Cit, hal. 21.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar